Friday 12 September 2014

Relativitas Kehidupan 2

Judulnya sih keren ya... berasa orang pinter. Sebenernya ini cuma curhatan, goresan, ketikan, sebuah cerita tentang bagaimana sang penulis menggambarkan dan menerapkan konsep relativitas dalam kehidupan sehari-hari.

Berawal dari cerita sewaktu kecil, saya tumbuh sebagai siswa yang normal... walau secara fisik agak sedikit lebih besar dari yang lain.... dikit ko. Singkat cerita, saya tiba-tiba sudah memasuki kelas 3 SMP. Saya bersekolah di SMPN 89 Jakarta Barat. Rumah ada di Tangerang, ko sekolahnya sampe ke Jakarta Barat? Tentu ada alasannya. Orang tua sangat ingin saya masuk ke fakultas kedokteran. Mungkin ada kebanggaan tersendiri dengan anaknya menjadi dokter. Saat itu saya mengincar SMU 78, salah satu SMU favorit di Jakarta. Untuk memudahkan usaha saya, akhirnya saya bersekolah di Jakarta sebab pola penerimaan siswa baru saat itu adalah 90% Jakarta dan 10% luar daerah. Jika saya sekolah di Tangerang, berarti harus bersaing lebih keras dengan kuota hanya 10%.


Apa yang terjadi? Saya masuk SMK Telkom di bilangan Daan Mogot ~_~

Ko bisa? Saya juga heran. Buat apa tiap hari pulang sekolah naik kopaja paling rawan seantero Jakarta selama 2 jam, kalo ujung-ujungnya malah sekolah di SMK swasta?? Hal itu masih menjadi misteri....

Usut punya usut, ternyata NEM SMP saya seharusnya mampu untuk masuk ke SMU favorit itu! Mengejutkan! Namun saya malah terdampar di SMK Telkom. Seinget saya sih, alesannya karena ngeliat abang saya yang alumni SMK itu sudah kerja dan mendapatkan gaji yang lumayan. Pragmatis banget ya? Iya, emang. Dulu, saya pikir itu sebuah prinsip, mencari duit sendiri tanpa meminta pada ortu. Kenyataannya, saya masih terlalu naif.

Yak, 3 tahun dijalani di SMK Telkom, dengan segala suka duka dan cerita di dalamnya, dan saya berhasil lulus!! Sempet kerja di sebuah perusahaan penyalur tenaga kontrak (outsourcing) dengan gaji yang lumayan, namun setelah 6 bulan saya memutuskan untuk berhenti.

Apa target selanjutnya? SNMPTN! Apa jurusannya? Pendidikan. KO BISA? Saya juga bingung...

Sekolah buat jadi Dokter, terus belajar sistem telekomunikasi, tapi akhirnya terdampar di pendidikan keguruan. Quite awesome....

Namun, pilihan ini tidak salah. Ortu kebetulan punya sebuah yayasan yang memang belum ada yang berniat meneruskannya, akhirnya saya inisiatif untuk mencoba meneruskannya. Masuklah ke jurusan kece ini, Manajemen Pendidikan B-)

Anyway, ada satu intisari yang saya dapet dalam perjalanan hidup itu. Allah menjawab pertanyaan dan keluh kesah saya dalam satu ayat.

Relativitas berarti ketergantungan. Kereta akan terlihat cepat jika dilihat oleh orang diam di pinggir rel. Namun kereta akan sangat lambat jika dilihat oleh pilot pesawat tempur dari dalam pesawatnya yang sedang melaju.

Begitupula hidup. Buat saya, mungkin hidup yang saya jalani terkesan tidak terencana dan berantakan. Namun Allah telah menulis tiap guratan takdir, bahkan sebelum alam semesta ini tercipta. Betapa angkuhnya kita ketika mengatakan bahwa hidup kita berantakan, padahal Allah telah merancangnya sedemikian rupa. Saya selalu percaya akan guratan takdir sang Pencipta, bahwa Dia telah merencanakan hidup yang indah. Memang tak selalu senang, memang tak selalu mudah, namun pasti akan indah.

Jalanilah kepingan puzzle kehidupanmu saat ini, susunlah bersama dengan kepingan masa lalu yang telah dijalani. Melangkahlah menuju kepingan puzzle masa depan, untuk nantinya dapat kau susun menjadi sebuah gambaran hidup yang telah Allah takdirkan. Tidak ada yang terlewatkan oleh Sang Maha Tahu, Sang Maha Kuasa.


"Percayalah, bahwa takdir langit akan selalu lebih indah dari rencana bumi."

1 comment:

  1. Takdir langit akan selalu lebih indah dari rencana bumi >_< inget Pria Rasa Mocca haha...
    Anyway baru baca lagi setelah blog gue debuan terus iseng-iseng liat temen di blog. Baru ngeh lu juga udah jutaan tahun belom update blog.

    Tulisan ini baru gue baca. Jadi inget sama sesuatu *brb*

    ReplyDelete

Thanks for the comment ^^