Monday 31 July 2017

Thalassophobia, Fear of The Unknown

Vast Emptiness (sumber)

Kalo kalian lihat ini dan merasa nggak nyaman, berarti kalian punya Thalassophobia! Fobia ini sering dikaitkan dengan ketakutan akan lautan yang luas dan dalam. Tapi ternyata ngga hanya itu, fobia ini juga dimaknai ketakutan akan ketidaktahuan (sumber). Kata Wikipedia sih, "Thalassophobia can include fear of being in large bodies of water, fear of the vast emptiness of the sea, and fear of distance from land. It can also include fear of the unknown, of what lurks beneath."

Anyway, itu cuma selingan aja, kadang trivials itu sangat menyenangkan untuk dipelajari. Tulisan kali ini akan bercerita tentang salah satu insting dasar manusia, yaitu fear of the unknown. Sudah menjadi sifat alamiah manusia bahwa kita cenderung untuk takut terhadap hal-hal yang kita tidak ketahui. Dan dari banyak hal horor yang ada, salah satunya itu masa depan. Namun gw rasa, karena memang sudah pasti akan kita hadapi, ketakutan manusia ngga lagi jadi hambatan utama. Terlebih kita udah punya berbagai persenjataan seperti kualifikasi akademik, rencana masa depan, tabungan, dan sebagainya. Justru kita memang khusus menyiapkan hal-hal tersebut demi menyongsong masa depan, ya kan?

Gw dan seorang teman sempat mengobrol di tongkrongan kampus, ditemani lalu lalang mobil yang menjemput siswa bimbel di pojokan jalan tersebut. Sambil nepokin nyamuk, temen gw cerita tentang sahabat semasa SMA nya dulu yang sekarang sudah bekerja sebagai tenaga medis. "Coba lu dulu ambil keperawatan, Ky, enak kerjanya kaya gw." ucap sahabat gw Rifky sambil menirukan omongan temannya. "Enak ya Thur, ngeliat orang yang udah kaya gitu. Udah tau mau ngapain gitu kedepannya." sambungnya. Kita berdua duduk termenung.... sambil masih nepokin nyamuk. Entah nyamuk itu menampilkan atraksi apa, pokoknya kita konsisten nepokin mereka.

Nyatanya dengan segudang persiapan dan alutsista yang sudah dipersiapkan, ngga sedikit orang yang masih takut dan bingung. Termasuk gw sih... bingung mau kemana. Padahal dulu waktu SMP mau jadi dokter, eh malah masuk ke teknik. Udah lulus SMK Teknik, malah lanjut kuliah kependidikan. Udah lulus kuliah, malah... nonton Tokyo Ghoul sambil makan Indomie. Gw sih ngga nyaranin ini buat yang gampang mual dan eneg ya. Karakter utamanya galau mulu kerjaannya.

Sejujurnya, gw pengen mengabdikan diri di bidang pendidikan. Toh niat kuliah juga buat nerusin sekolah punya ortu (kalo diwarisin ke gw sih, kalo kaga ya bagus). Nah emang gw orangnya suka mikir dan baca buku, gw tuh niat banget jadi dosen! Bayangin, kita bisa ngajar, sambil juga riset, udah gitu bisa diterapin pake skema pengabdian masyarakat. Kayaknya asik gitu kan, gw ngeriset tentang banyaknya coretan tip-x di meja siswa, dicari korelasinya dengan karakter siswa yang duduk di meja itu, terus juga dikasih alternatif berupa "MeRet" alias meja corat coret. Siapa tau, daripada itu bocah diomelin, dia bisa disalurin bakatnya kan. Liat dah lukisan abstrak yang dijual mahal itu, bisa jadi dulunya pelukis itu hobi maenan tip-x. Nah dapet hasil penelitiannya, bisa deh gw diseminasi (sebar) dalam dua bentuk. Pertama, kepada mahasiswa yang gw ajar, kedua, kepada masyarakat pendidikan. Udah gitu, penelitian ini bisa gw terapin juga di sekolah ortu cuy (sekali lagi, kalo diwarisin ke gw). Ngebayanginnya aja udah seneng gitu, jadi dosen yang super produktif dan penasaran riset sana-sini.

Tapi kenyataannya tak sejalan~~ Abang Glenn nyanyi

Yep, sudah setahun lebih empat bulan gw lulus jadi sarjana pendidikan. Status lajang, pekerjaan freelancer & scholarship hunter. Ternyata jadi dosen itu sulit! Tantangan terbesarnya adalah kualifikasi S2 yang harus kita dapatkan. Alternatif yang ada sebenarnya banyak, bisa nyari beasiswa, bisa kerja sambil kuliah, bisa juga kuliah pake duit ortu. Tapi opsi ketiga rasanya ngga akan gw ambil, sisa dua opsi. Ribetnya, dan memang gw sendiri yang bikin ribet, gw pengen banget kuliah di luar negeri. Kayaknya kuliah disana susah banget gitu, tapi kualitas yang dijanjikan juga tokcer banget. Jadilah gw kerjaannya apply sana apply sini buat nyari beasiswa luar negeri. Sudah 15 beasiswa kudaftar, namun belum ada yang jatuh ke pelukan.... Jangan kira daftar beasiswa kaya lamar kerja ya! Tiap beasiswa butuh essay dan study plan tersendiri, jadi kebayang kan maboknya harus bikin 15 item itu semua. Perjuangan sang pemburu beasiswa~

Singkat cerita, satu tahun berlalu, dan gw masih berkeliaran di sekitaran kampus dan rumah. Orang kalo ngeliat juga past pada nanya, ini pengangguran betah amat idupnya kaga ngapa-ngapain. Opsi kuliah dalam negeri juga udah mulai melambai-lambai sih, tapi ortu maunya pake label "UI ITB UGM". Tau sendiri biaya kuliah S2 disitu berapa, udah gitu jadi ngga linier sama sarjananya, jadi akademisi pun semakin sulit. Pilihannya sih banyak, cuma kayaknya ngga ada yang enak diambil gitu. Emang manusia(gw) ngga pandai bersyukur, ada pilihan ngeluh, ngga ada pilihan juga ngeluh.

Intinya gini, gw takut dan bingung tentang masa depan. Entah kalian menyebutnya apa, cuma pilihan gw di masa lalu itu kadang gw sesalkan. Kehancuran itu dimulai dengan penyesalan, yang kata kuncinya itu "Coba dulu bla bla bla". Pun sudah berkali-kali gw mencoba mengkhianati impian gw, dengan melamar kerja di beberapa tempat. Ngga ada pilihan selain hidup di masa ini, dan pertanyaan terbesar yang ditanyakan oleh kita sekarang kepada kita di masa depan adalah: "Pilihan apa yang harus kita perjuangkan, dan pilihan apa yang harus kita relakan?" Dan supaya lebih meriah, semua hal ini dilakukan sambil dikejar "waktu". Di depan bingung mau kemana, di belakang udah ada yang siap ngelindes.

Apa yang ada di ujung sana? Tidak tahu.
Apa yang ada di ujung sini? Tidak tahu.
Every doubter was once believer.

Ya balik lagi sih, sebenernya mah ini curahan hati doang. Namanya juga blog pribadi yak, mohon maaf atas segala sentimen yang berceceran di sini.

I don’t feel that it is necessary to know exactly what I am. The main interest in life and work is to become someone else that you were not in the beginning. If you knew when you began a book what you would say at the end, do you think that you would have the courage to write it? What is true for writing and for love relationships is true also for life. The game is worthwhile insofar as we don’t know where it will end.” ― Michel Foucault

No comments:

Post a Comment

Thanks for the comment ^^