Tuesday 24 November 2015

Beasiswa; Relevansi, Kontekstualisasi, Realisasi



Ini adalah sebuah tulisan yang saya temukan di grup WhatsApp, berisi tentang beasiswa LPDP. Saya mengutip keseluruhan tulisan dengan sedikit perubahan dan penyesuaian.
Berikut saya cuplikkan tulisan Pak Lukito Edi Nugroho (Pewawancara LPDP, Dosen Teknik UGM), yang sekiranya bisa menjadi renungan bagi kita semua. 

Salam sukses


Anda Memang Pintar, Tapi...

Dalam tiga hari kemarin saya kembali berkesempatan mewawancarai pelamar beasiswa LPDP di Jakarta. Ini kali yang kedua saya mewawancarai mereka, setelah di Kupang beberapa bulan yang lalu. Ada perbedaan besar antara karakteristik pelamar di Jakarta dan Kupang. Exposure terhadap informasi, pengetahuan terhadap isu-isu kekinian, dan “mimpi” pelamar di Jakarta rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan pelamar di Kupang. Cara menilai diri dan menyampaikan keinginan juga berbeda, dan hal inilah yang ingin saya tulis kali ini.

Pelamar di Jakarta, dengan latarbelakang dari perguruan-perguruan tinggi terkenal, punya “mimpi” yang tinggi. Ekspresi mereka kira-kira seperti ini: “Saya punya kemampuan akademik tinggi, saya layak untuk bersekolah di Eropa, Australia, atau Amerika, dan dengan bekal pendidikan itu, saya akan membangun Indonesia!”. Self-esteem mereka tinggi, dan dengan nilai tinggi tersebut, mereka juga memasang target yang tinggi.

Bagus. Anak-anak sekarang memang harus didorong untuk melompat setinggi mungkin, lalu kembali untuk memberikan kontribusi bagi bangsa ini. Sayangnya, saya melihat ada yang kurang…

Saya sulit menjelaskannya dengan singkat tentang apa yang kurang tersebut, tetapi intinya antara self-esteem yang tinggi dengan apa yang kelak akan dikontribusikan seperti ada gap. Tidak nyambung. Beberapa pelamar yang bisa dengan lancar menceritakan rencana studinya, tapi mereka kesulitan untuk merangkai cerita itu dengan penjelasan yang logis tentang bagaimana mereka kelak dapat berkontribusi. Contoh: ada yang ingin belajar tentang renewable energy (RE) dan kelak ingin berkontribusi membangun infrastruktur RE untuk melistriki Indonesia bagian timur. Ketika ditanya caranya bagaimana, dia bilang dia akan membuat perusahaan RE dan membangun pembangkit-pembangkit mikrohidro di sungai-sungai di pedalaman Papua dan Maluku, lalu dengan itu dia bisa melistriki desa-desa. Oh come on boys…sebaiknya kalian turun ke bumi dan melihat realitas yg ada.

Inti pembicaraan saya adalah, self-esteemtinggi yang tidak diikuti dengan kontekstualisasi hanyalah asesoris tak bermakna. Potensi yang dimiliki seseorang hanyalah bernilai dan bermakna ketika menemukan saluran yang pas: bagaimana potensi itu bisa membawa kebaikan bagi lingkungannya. Meski anda pandai, tapi kalau tidak bisa bermanfaat, ya hanya cocok untuk jadi asesoris pajangan saja… :D

Dan di sinilah poin yang paling penting: kontekstualisasi potensi hanya bisa dilakukan dengan kerendahan hati (humble). Kerendahan hati diperlukan untuk bisa melihat potret lingkungan sekitar dengan jernih dan mengidentifikasi apa yang mereka perlukan. Kerendahan hati akan menumbuhkan empati dan pemahaman terhadap lingkungan, dan dari sini baru kemudian bisa lahir solusi-solusi yang masuk akal, realistis, dan implementable. Tanpa kerendahan hati, yang ada hanyalah “aku”, perspektifnya adalah “sudut pandangku”. Dari fokus yang keliru, bagaimana bisa muncul solusi yang efektif?

Kepercayaan diri yang berlebihan(overconfidence) juga tidak baik, karena itu bisa “membutakan” dan membuat tidak mampu menerima saran yang baik. Dalam interview, kadang pewawancara melihat bahwa keahlian yang akan dipelajari sebenarnya tersedia di dalam negeri, tetapi pelamar ngotot untuk ingin bersekolah di luar negeri meskipun sudah diberi pengertian. Mau belajar manajemen teknologi tepat guna kok sampai ke Oxford, Inggris. Pewawancara sebenarnya oke-oke saja jika memang ada argumentasi yang solid untuk kengototan itu, tetapi kalau ngototnya semata didasari oleh kepercayaan diri bahwa “saya layak sekolah di LN” atau hanya dengan alasan “dengan sekolah di LN saya akan mendapatkan wawasan baru”, itu yang tidak bisa diterima. Ingat ya mas dan mbak, beasiswa LPDP itu berasal dari duit rakyat.

Jadi bagi para generasi muda yang akan melamar beasiswa, rendahkan hati anda. Lihatlah problem-problem di sekitar anda, lalu refleksikan ke dalam diri dan bertanyalah, apa yang bisa anda lakukan. Selanjutnya, buatlah rencana yang logis dan realistis. Memang, kalian pasti belum bisa membuat rencana yang rinci dan lengkap dengan segala kompleksitasnya, tetapi menempatkan diri kalian beserta potensi yang kalian bawa pada konteks permasalahan, lalu berikan yang terbaik yang kalian miliki, itu sudah cukup. Kami bisa kok, melihat dan menghargai usaha seperti itu. Kembali ke contoh di atas, setelah kalian balik dari luar negeri membawa ilmu tentang manajemen RE, ceritakan saja bahwa kalian akan bergabung dengan LSM yang bergerak di bidang energi untuk rakyat dan bersama-sama dengan mereka mencari cara yg lebih baik untuk memberikan akses listrik yang lebih baik bagi masyarakat. Sesederhana itu saja sudah cukup bagi kami untuk bisa melihat bagaimana kelak anda akan berkontribusi.

Intinya, LPDP tidak mencari sosok-sosok muda yang pintar saja. Yang dicari LPDP adalah insan muda yang pintar dan mampu menggunakan kepintarannya untuk membantu bangsa ini.

Satu hal lagi. LPDP juga perlu diyakinkan bahwa pelamar memang benar-benar tulus dan serius dalam menyiapkan kontribusinya. Urusan meyakinkan ini juga tidak mudah, karena memerlukan bukti, sementara kontribusi baru akan terjadi pada masa yang akan datang. Dalam kondisi seperti ini, yang kemudian dilihat adalah track record, konsistensi pola, dan gesture.

Kalau bilangnya kelak ingin membangun sarana kelistrikan bagi masyarakat pedesaan tapi tidak punya pengalaman dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan, ya jelas sulit bagi siapapun untuk percaya. Kalau inginnya menjadi dosen tetapi saat wawancara menunjukkan pola-pola komunikasi yang tertutup, ya jelas orang akan meragukannya. Dan ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan intonasi bicara kadang juga bisa menunjukkan ketulusan dan keseriusan seseorang.

Jadi sebenarnya studi lanjut (apalagi dibiayai beasiswa) itu adalah sebuah kegiatan yang seharusnya dirancang sebagai bagian dari perjalanan hidup. Studi lanjut bukanlah kegiatan sambilan atau sesuatu yang bisa dilakukan mumpung ada kesempatan. Ia perlu disiapkan. Ia perlu didukung oleh pola-pola kegiatan sebelumnya yang konsisten. Dan ia perlu ditindaklanjuti dengan kontribusi nyata bagi bangsa.

Jangan sampai LPDP menganggap pelamar memandang beasiswa sebagai kesempatan untuk “unpaid leave” atau “jalan-jalan gratis”. Jika seperti ini niatnya, percayalah, studi lanjutnya tidak akan berkah, karena beasiswa LPDP hakikatnya adalah amanah dari seluruh rakyat Indonesia.
***
Muhammad Rezki Hr
PhD Student




                                                                                                                                                                                                       




Karena ramai orang membincangkan tulisan dosen UGM interviewer LPDP, gatal juga jadi ingin memberi tanggapan, baik positif maupun negatif.

Pertama, pak dosen menceritakan kisah beberapa pelamar yang memiliki self confidence 'ketinggian'. Kemudian ia menambahkan, para pelamar memiliki mimpi yang selangit, namun kurang relevan dengan pilihan studi ke luar negerinya, dan kurang bisa direncanakan dengan matang pasca kelulusan. Salah satu ilustrasi yang digunakam oleh pak dosen adalah seorang pelamar yang bercita-cita untuk membuat gebrakan dalam bidang renewable energy (RE) hingga ke indonesia timur. Pak dosen mengungkapkan bahwa ada gap antara cita-cita tersebut, dengan perencanaan untuk mencapainya.

Opini saya : memang ada sebuah miskonsepsi yang sudah mendarah daging di Indonesia tentang S2-S3 dan kuliah di luar negeri. Entah mungkin karena posisi kita sebagai penduduk negara berkembang, ada sebuah konsepsi gebyah uyah yang mengidentikkan "kuliah S2-S3 ke luar negeri = sudah pasti mampu menyelesaikan masalah bangsa". Saya kira jamak hal seperti ini dipersepsikan, padahal kalau dipikir masak-masak, apakah betul selalu berkorelasi positif?

Saya ingin memberikan sebuah contoh. Kebetulan saya belum punya contoh untuk RE. Namun sepengetahuan saya, banyak sekali di antara pelamar beasiswa LPDP yang bercita-cita untuk memajukan sektor agrikultur, memberdayakan petani dan lain sebagainya. Oke, to the point saja, apakah S2 ke Oxford belajar agronomi adalah solusi pasti terhadap cita-cita tersebut? Bisa iya, bisa tidak.

Saya punya seorang sahabat, namanya Taufik Hidayat. Dia membuat Pasar Sehat Genteng, sebuah upaya yang telah menolong petani di sana punya income dari $2 per hari pada 2010, menjadi $80 per hari pada 2015! 40 kali lipat! Ia menyediakan microfinance, mentoring bisnis, dan lain sebagainya kepada hanpir 400 petani miskin di desanya -sekarang tidak miskin lagi. The fact is, dia bukan seorang S2 lulusan luar, bahkan 'hanya' lulusan akuntansi sebuah kampus swasta di Kota Bandung. Pertanyaannya, kira-kira mana yang lebih berpeluang mensejahterakan petani : apakah Pasar Sehat Genteng yang dirintis dengan tekun selama 2-3 tahun, ataukah tesis seorang anak S2 lulusan Stanford yang membahas tentang "Analysis on Indonesia's Traditional Market"? Tentu saja saya sedang tidak ingin membicarakan tentang sudut pandang "Ya pasti beda akademisi dengan praktisi". No, please keep it general saja agar mudah. Mengenai Pasar Sehat Genteng, bisa di googling atau dibaca di link berikuthttp://www.goodnewsfromindonesia.org/2015/06/10/indonesia-raih-juara-1-di-spanyol/ .

Contoh lain di agrikultur, belum lama ini saya membaca profil kawan saya yang sangat menarik di http://petanimuda.org/azmy-basyarahil/ . Padahal menurut saya karakteristik seorang Azmi Basyarahil tidak ada kurangnya untuk bisa kuliah di ANU atau Cornell sekalipun. Namun ia memilih untuk melanjutkan passion nya memperjuangkan petani, dan mengambil S2 di UGM.

Contoh sangat konkrit lainnya di bidang pendidikan. Saya punya sahabat, Anggayudha Ananda Rasa yang tahun 2011 sudah ditawari beasiswa oleh seorang profesor di Nagoya University. Apa lacur, ia super galau. Kenapa? Di saat yang bersamaan, ia sedang merintis sebuah start-up bisnis bertemakan edukasi yang memang sudah jadi passion nya. Akhirnya berat hati, ia putuskan meninggalkan beasiswanya, dan fokus membesarkan bisnis. Hasilnya? Hari ini start-up nya mengguncang jagad bisnis sosial edukasi di Indonesia hingga diliput oleh media-media mainstream. Cita-citanya untuk memajukan pendidikan Indonesia dengan membuat belajar menjadi lebih mudah, agaknya lebih mudah ia raih hari ini. Bandingkan jika 2011 ia memutuskan untuk mengambil kesempatan beasiswa S2 nya dan melakukan penelitian "Innovative way to teach kindergarten students in Indonesia", mana yang lebih impactful? Ini liputan mengenai Anggayudha di majalah bisnis nomor wahid, SWA :http://swa.co.id/startup/anggayudha-ananda-rasa-berbisnis-dengan-idealisme-ala-science-factory

Dalam hal ini, saya sepakat dengan pak dosen, ada sebuah pemahaman yang tidak pas "Saya punya kemampuan kok! Saya bisa kok kuliah ke luar negeri!" Oh ya, pertanyaannya : apakah itu relevan untuk mendukung anda menyelesaikan masalah bangsa? Kehadiran LPDP ditakutkan malah memicu kesalahan logika, "Wah mumpung nih bisa kuliah ke luar yuk lah kita berangkat!" Kenyataan ini sedikit diperparah ketika saya mendapat cerita dari seorang pengisi materi pada sebuah kegiatan seminar persiapan keberangkatan LPDP. Ia menceritakan bahwa hampir setengah peserta (penerima beasiswa) mendaftar LPDP simply karena tidak diterima ketika melamar pekerjaan.

Sayangnya lagi, saya punya sebuah pengalaman pahit. Tahun 2013 saya menjalani interview beasiswa LPDP untuk kuliah S3 di IPB. Saya berargumen bahwa, dengan mengambil kuliah bisnis di kampus Indonesia, saya akan lebih mendapat sense tentang aktivitas bisnis di dalam negeri, dibandingkan kalau saya mengambil di Harvard atau Cambridge sekalipun. Ternyata interviewer saya tidak terima! Dia bilang, "Ngapain di dalam negeri. Kamu mampu kok ke Harvard atau MIT" Di akhir 45 menit sesi interview, "Oke kalau kamu berubah pikiran mau daftar ke Harvard atau MIT saya lolosin." Wow, bukan. Saya mengalami kasus yang sebaliknya yang dialami oleh pelamar yang diwawancara oleh pak dosen Lukito. Saya bersyukur, dalam hal ini, Pak dosen Lukito memiliki keluasan pemikiran yang tidak terkungkung "asal luar negeri".

To conclude pada poin pertama, cerita-cerita di atas seyogyanya dipandang bukan sebagai justifikasi "oh S2 ga guna ya", "Ah ini orang naif banget dia juga lulusan luar", hehe, please pandang secara objektif ya. Yang ingin saya pesankan : stop gebyah uyah seakan-akan S2 ke luar negeri adalah suatu hal yang puasti banget membawa kebaikan (jika dibandingkan dgn pilihan lain). Bahkan dalam ekonomi kita mengenal konsep diminishing marginal productivity of labor, yang intinya, pada satu titik, menambah jumlah karyawan justru akan menurunkan produktivitas. Analogi tersebut agaknya berlaku dalam kasus kehidupan lain.

Maka, kembali ke kisah kritik pak dosen, saya kira alur berpikir kita semua yang harus dibenahi. Tentu saja kita ingin agar cita-cita "menyelesaikan sebuah masalah bangsa" lah yang diutamakan, bukan 'sekedar' kesempatan untuk menimba ilmu S2 ke luar negeri. Bagaimana menuju ke sana? Jika memang tidak relevan, saya rasa LPDP dan reviewer nya harusnya bisa cukup tegas menilainya. Jangan-jangan gara-gara seseorang mendapat beasiswa LPDP, dia justru makin menjauh dari cita-cita asalnya untuk menyelesaikan sebuah permasalahan bangsa.

Kedua, dari sudut pandang "seleksi beasiswa LPDP", kritik sedikit saya tujukan kepada pak dosen, yang menurut saya membuat penilaian yang terlalu subjektif. Pak dosen terlalu cepat menarik kesimpulan, bahwa ketika ada seseorang yang memiliki misi atau mimpi tertentu, sementara belum nampak jelas tapak-tapaknya menuju ke sana, maka ia bukan seorang yang relevan untuk lolos menerima beasiswa LPDP. Saya agak kurang sepakat, walaupun tidak bisa disalahkan sepenuhnya.
Saya kira seorang Anies Baswedan pun seandainya ditanya, "Bagaimana cara anda memajukan pendidikan Indonesia?" SEBELUM kuliah ke Amerika, apakah akan dia jawab "Saya mau bikin Indonesia Mengajar pak!"?

Atau seorang Faldo Maldini II yang ditanyakan hal yang sama. Apakah ia akan jawab tahun 2012, "Saya mau bikin platform untuk kontribusi bagi warga minang namanya pulangkampuang.com!" Saya kira jalan ceritanya tidak akan seperti itu.

Menarik, sebuah quote yang ramai di-share di media sosial dari Jaime Casap, Google Education Evangelist : "Don't ask kids what they want to be when they grow up but, what problems they want to solve." Ini karakteristik gen Y banget.

Gen Y berbeda dengan gen X (generasi para orang tuanya gen Y), yang dibicarakan adalah : "Masalah apa yang mau kita selesaikan?", "Dunia seperti apa yang ingin kita ciptakan?" Caranya bagaimana? Bisa jadi memang belum ditemukan saat ini. Karena sintesa antara ide, pengalaman, network, dan keberanian biasanya memang datang dar arah yang tak terduga, sehingga lahir inisiatif seperti start-up, atau social entrepreneurship, atau misalnya komunitas yang memberdayakan kaum-kaum marginal tertentu.

Ini senada dengan pengalaman saya berdiskusi mengenai penyelenggaraan simposium internasional PPI Dunia dengan Pak Muhammad Luthfi, mantan menteri perdagangan yang saat itu masih menjadi duta besar di Tokyo.
Saya : "Iya pak, sebenarnya sih simposium begini cost nya besar sekali, kadang hasil yang didapat juga tidak terlalu relevan."
Pak Luthfi : "Eh jangan begitu bilangnya. Jangan remehkan power puluhan atau ratusan anak muda yang berkumpul dan mendiskusikan satu persoalan. Dari situ justru bisa lahir ide-ide gila untuk bangsa."
Kurang lebih begitu ujarnya. Malu juga tuh, beliau kok mikirnya lebih gen Y dibandingkan saya? Hehe.

Jadi, pak dosen dan para interviewer yang kami hormati, alih-alih mengkerdilkan rencana hidup anak-anak muda gen Y dengan simplifikasi "Oh kenapa gak gabung LSM aja? Lebih jelas", atau bahkan malah 'menjatuhkan' mimpi besar mereka (yang saya yakin dan semoga tidak ada reviewer yang sampai gini-gini amat...) ; saya kira biarkan saja mereka (kami) menjadi, istilahnya Peter Thiel, "indefinitive optimistic" : orang-orang yang optimis terhadap masa depan tapi belum tahu bagaimana mencapainya. Ini senada dengan kritik rekan PakArif Badrudin yang juga ikut tersebar di beberapa media sosial.

Ujung-ujungnya, pihak penyeleksi LPDP harus punya sebuah metrik khusus yang dapat menilai pelamar lebih dalam, jauh dari subjektivitas personal para dosen reviewer. Saya kira yang harus dinilai bukan seberapa 'jelas' planning yang dibuat oleh si pelamar untuk mencapai mimpinya, karena toh kebanyakan pelamar adalah fresh grad yang minim pengalaman; Namun, mungkin bisa dinilai dari personal atau track record di pelamar dalam melakukan hal-hal yang kreatif dan kontributif ketika masih sebagai mahasiswa, misalnya.

Tanpa mengurangi rasa hormat, kita tahu bahwa hampir seluruh (terima kasih koreksinya, karena ternyata ada unsur tokoh masyarakay dsb juga) penyeleksi beasiswa LPDP adalah dosen, dan mungkin semuanya memiliki mindset standar gen X. Lulus doktor. Mengajar. Menulis paper. Sangat jauh dari exposure era kreatif yang disuguhkan oleh aktivis-aktivis gen Y. Bukan tidak mungkin, ke depan kita bisa menciptakan sebuah tren kontribusi yang unik, di mana manusia-manusia bergelar tinggi (magister dan doktor) bisa berkiprah tidak hanya di lingkungan akademis, namun di 'kontestasi terbuka' ala entrepreneurship, atau bahkan teknokrat-teknokrat yang membawa aura perubahan di public sector. Perbedaan konsepsi seperti ini baiknya juga diakomodir oleh panitia penyeleksi LPDP.

Hal ini sedang diakomodir oleh sebuah acara namanya "Welcoming Alumni" yang dikomandani sahabat terbaik saya, bung Ikhsan Abdusyakur. Menurut Syakur, lulusan S2 dan S3 terutama dari luar, biar bagaimanapun memiliki kultur analisa dan R&D yang mantab. Hal ini diharapkan berdampal positif : di manapun alumni luar berkiprah, mereka akan memiliki jiwa "intrapreneur" yang kuat, karena tajam di analisis dan pemikiran R&D. Saya mendoakan keberhasilan acaranya agar alumni LPDP semakin memberi kontribusi positif bagi bangsa.

Sebagai closing, please don't get me wrong. Walaupun beberapa nada bicara di tulisan saya mengarah ke kritik, namun overall, saya sangat mengapresiasi keterbukaan Pak dosen Lukito yang bersedia mengekspresikan tulisannya dengan lugas dan artikulatif. Justru karena beasiswa LPDP ini adalah expense negara, maka biarkan diskusi mengenai beasiswa ini bukan menjadi sesuatu yang elitis dan ekslusif. Biarkan saja ia bergulir secara organik. Dan semoga bisa menjadi feedback agar organisasi LPDP bisa menjadi lebih baik lagi. Untuk bangsa.

@radyum
Mahasiswa IPB

Spesial tulisan ini saya persembahkan untuk guru saya, sosok yang paling saya segani di LPDP, pak Mokhamad Mahdum. Semoga berkenan pak 

Tambahan : saya sertakan juga pemikiran sohib intelektual saya bung Ahmad Rizky Mardhatillah Umar melalui tulisan tanggapannya yang tidak kalah menarik :
https://m.facebook.com/notes/ahmad-rizky-mardhatilah-dua/mitos-pemimpin-masa-depan/1202419866440788/?ref=bookmarks

Shareable dengan link berikut :http://radyumikono.com/tanggapan-terhadap-tulisan-prof-lukito-mengenai-pendaftar-lpdp/


                                                                                                                                                                     



"LUAR BIASA!" Itulah komentar pertama saya setelah membaca dua tulisan yang ada di grup whatsapp tersebut. Jujur, saya sangat mengagumi cara berdialog dalam tulisan yang ada di atas. Penuh dengan etika dan keilmuan. Kedua tulisan tersebut membuka lebih jauh pemikiran saya, yang memang mengincar beasiswa dari LPDP untuk studi lanjut ke luar negeri.

Jujur, saya pun masih merasa ada GAP diantara apa yang saya inginkan dengan apa yang saya kerjakan sekarang. Rasanya masih sulit mencari reasoning terhadap tujuan yang ingin saya capai. Sekedar alasan konseptual sih mudah, tinggal baca buku A B C dan lainnya. Tapi, apakah kita memang memiliki tujuan harfiah atas apa yang kita impikan? Apakah kita sudah mampu mengkontekstualisasikan seluruh gagasan kita untuk kemajuan bangsa nantinya? Nyatanya dalam taksonomi Bloom, "Menciptakan" memiliki tingkat kognitif tertinggi, yakni C6. Mampukah kita menciptakan suatu solusi nyata atas permasalahan bangsa ini?

Namun tak kalah menarik, respon yang diberikan sangat konstruktif. Bagaimana kedepannya, inspirasi dan kreasi bisa datang dari berbagai sumber. Kesuksesan adalah kesiapan yang bertemu dengan kesempatan. Maka, janganlah beranggapan bahwa mimpi kita "ketinggian". Persiapkan terus menerus diri kita untuk mampu menjadi yang terbaik. Untuk mendapatkan kesuksesan, ketika kesempatan itu nantinya datang!

Teruslah belajar dan belajar, untuk menciptakan Indonesia yang lebih baik!

"Jadilah seperti padi. Semakin berisi, semakin merunduk."

2 comments:

  1. Asdfghjkl. Sangat membakar! Thanks for sharing, eyang atul (y)

    ReplyDelete

Thanks for the comment ^^