Tuesday, 28 May 2013

Analogi Pendidikan

Kemarin, ada sebuah peristiwa yang cukup langka terjadi. Kelas kuliah hukum dalam pendidikan yang saya hadiri diisi oleh Prof. Sucipto, seorang pakar pendidikan, guru besar serta mantan rektor UNJ. Amat langka bisa bertemu beliau dalam perkuliahan, mengingat kesibukan yang beliau punya.

Buat yang penasaran, beliau itu berperawakan agak pendek, dengan pipi yang cukup tembem serta berkacamata. Namun aura yang dimiliki memang menunjukkan seseorang yang berintelektualitas tinggi, dan tatapan matanya serta pertanyaannya cukup tajam untuk "menelanjangi" mahasiswa S1 semester 2. Beliau tidak membahas materi perkuliahan, hanya sekedar sharing mengenai isu-isu pendidikan yang sedang hangat. Dalam kesempatan ini, beliau membahas mengenai Ujian Nasional.

Awalnya sih memang rada membosankan, karena sebenarnya pembahasan UN sudah menjadi kajian di berbagai kesempatan. Namun mengingat bahwa yang berbicara adalah beliau, saya jadi cukup serius untuk memperhatikannya. Semua hal yang dibahas sudah saya baca sebelumnya, namun ada satu hal yang cukup menggelitik pemikiran saya. Mengenai analogi pendidikan sang profesor. Kurang lebih begini gambarnya:
Analogi Pendidikan
Ya, tepat seperti ini Prof. Sucipto menggambarkan analogi. Oke, mari kita bahas dari pabrik sepatu dulu. Input yang diperlukan pabrik sepatu adalah karet-karet yang bagus, maka dari itu diadakan penyortiran untuk mengeliminir yang jelek. Yang bagus masuk, yang jelek dibuang. Setelah itu, karet yang bagus-bagus itu diproses di dalam pabrik, untuk membentuk sebuah sepatu. Proses ini instan, jadi langsung kelihatan bentuk sepatu yang telah diproses. Selanjutnya, sepatu yang telah jadi melalui tahap seleksi untuk memeriksa jika ada sepatu yang cacat. Jika ada, sepatu akan disingkirkan, mungkin dibuang. Jadi, sepatu keluaran pabrik akan menjadi sepatu yang terbaik.

Proses pendidikan kurang lebih sama dengan pabrik sepatu itu, tapi ada cukup banyak perbedaan yang mesti digarisbawahi. Pertama, "barang" yang diproses bukanlah karet, melainkan manusia. Ya, manusia, bukan benda. Input yang ada dalam pendidikan memang diseleksi dahulu, namun bukan berarti kecacatan akan langsung dieliminir. Karena pada dasarnya, pendidikan adalah membentuk seorang manusia menjadi manusia seutuhnya. Dari inputnya saja sudah berbeda secara kualitas. Lalu selanjutnya masuk ke dalam proses. Proses pendidikan tidaklah instan, tidak seperti sepatu yang dibentuk langsung jadi. Pendidikan adalah pembelajaran kontinu, jangka panjang. Jadi, hasil yang diharapkan juga tidak akan langsung jadi. Prosesnya pun tidak akan semudah membuat sepatu. Setelah diproses, peserta didik akan menghadapi standarisasi untuk mencapai tahapan output, dan standarisasi yang berlaku adalah Ujian Nasional. Dengan segala ketidakadilan serta permasalahannya, Ujian Nasional menjadi penyeleksi mutu peserta didik. Lalu jika ada yang tidak lulus, mau diapakan? Dibuang kah? Dicap produk gagalkah?

Begitulah kurang lebih apa yang coba disampaikan prof. Sucipto. Apa yang saya pahami adalah, pemerintah menjalankan pendidikan nasional seperti menjalankan pabrik sepatu. Padahal, ada banyak perbedaan fundamental yang harus diperhatikan dalam menjalankan sistem pendidikan nasional. Wallahu'alam.

1 comment:

  1. menurut beliau, lebih tepatnya sekolah itu seperti rumah sakit.. begitu kan ya? hehe..

    ReplyDelete

Thanks for the comment ^^